Batu Kali Membangun Arti

 Batu Kali Membangun Arti


Di kota besar dan perkotaan lainnya, orang sibuk demo dan mengambil dana kompensasi dari pemerintah. Membakar ban, mengadang jalanan, sampai berbagai cara dilakukan untuk membatalkan kenaikan BBM. Namun, di sebuah desa terpencil ada sebuah kisah.


Nawas, lelaki miskin yang sedang ingin menikah justru sebaliknya. Ia merasa heran dengan ulah orang kota.


Pekerjaannya hanya menjaga ibu yang sudah renta serta buta. la tinggal di gubuk pinggiran desa. Tidak ada penerangan kecuali lampu teplok. Usianya sudah menginjak 30 tahun. Hasrat untuk berumah tangga sudah menggebu. Tapi, dengan siapa ia harus menikah? Apa yang akan dijadikan mahar?

"Boro-boro mikir BBM, asal bisa makan hari ini saja sudah sangat untung buatku," katanya suatu saat.


Saat orang sedang sibuk memikirkan tuntutannya kepada pemerintah, ia justru sibuk mengumpulkan batu dari kali. Begini ceritanya. Ketika usianya sudah menginjak umur 29, ia naksir seorang gadis di desanya.


Namun, untuk bisa menjangkaunya tentu saja susah. Yang ia pahami hanyalah harus punya rumah sendiri dan berdinding tembok. Makanya, ia pun mencari cara agar keinginannya bisa terwujud.


la bertanya kepada tetangganya, namun jawabannya ketus dan menghina. Ia bertanya kepada Pak Kiai, jawabannya disuruh tawakal kepada Allah. Bertanya kepada lelaki sebayanya, jawabannya tidak beda jauh. Ketika ia bertanya kepada aparat desa, jawabannya malah disuruh prihatin atas kenaikan BBM. Ketika ia bertanya kepada mahasiswa, jawabannya tidak jauh beda dengan aparat desa.


Tapi ia tidak putus asa. Ia kembali mencari jawaban. Sekarang ia fokus mencari jawaban ke pedagang di pasar. Mulai dari pedagang sayuran sampai pedagang emas ia tanyai. Rerata jawabannya adalah ia disuruh usaha.

Tapi ia sendiri bingung harus usaha apa. 


Dalam pikirannya kalau mau makan ya cari di kali, mancing ikan untuk lauk, kemudian minta singkong sama tetangga. Sedangkan aktivitas rutin dirinya yang selalu diperhatikan adalah buang air besar di kali.


Sehari berlalu, seminggu, sebulan, dua bulan, dan terus saja waktu berjalan. Nawas belum juga menemukan caranya. Padahal, orang sudah kelabakan karena harga BBM naik. Satu sisi, ia terkena imbas karena yang punya kebun singkong suka uring-uringan kalau dia minta singkong untuk makan. Satu sisi, dia merasa ada yang ikut merasakan derita hidupnya. Sebelum BBM naik, ia sering bingung mau makan apa sampai harus kerja keras.


Kadang ia harus menahan air mata ketika melihat ibunya kelaparan, atau sedang mengerang karena sakit. Dari televisi tetangga, ia mendapati banyak orang kaya memilih menjadi miskin seketika.


Sebab, yang mengambil uang kompensasi BBM bukan lagi wong melarat, melainkan orang yang punya emas, gelang emas, bahkan mobil pun ikut antre. Nawas pernah mengumpat lirih, "Jadi orang miskin itu enak. Selalu kelabakan mencari makan. Harus selalu tahu diri. Tidak boleh salah dalam memilih teman bergaul dan sebagainya. Jadi orang kaya malahan malas minta ampun."

Masuk bulan keenam, Nawas menemukan ide.


"Bukannya aku sering buang air besar ke kali? Di kali kan banyak batu. Batu itu enggak ada yang punya? Kenapa tidak aku bawa batu itu setiap pulang dari kali?"


Mulai saat itu, jika ia buang air besar selalu membawa ember. Minimalnya ia akan membawa dua potong batu. Pokoknya yang bisa ia bawa sekembalinya dari kali. Perbuatan Nawas ditertawakan orang sedesa. Mereka menganggap Nawas gila. Apalagi, ia kerap membawa batu kali hanya dua atau tiga buah. Batu itu ditumpuk di luar rumahnya. Tanah pemberian warga desa.


Batu yang kecil dan sedikit itu lama kelamaan semakin banyak karena tiap hari ditambah. Warga semakin banyak yang diam, namun Nawas belum juga mengerti apa yang hendak dilakukan setelah batu itu banyak. Ia terus saja mengumpulkan batu itu sampai menjulang tinggi. Intinya ia ingin membuat rumah dari batu yang dikumpulkan itu.


Tekadnya hanya dari wejangan Pak Kiai ketika ceramah di masjid:

اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ

"Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan." (Asy Syarh ayat 6)


Setelah batu-batuan itu menggunung, Nawas semakin bingung. Ia tidak tahu harus bagaimana mewujudkan impiannya. Namun, ia tidak menyerah. Terus saja ia membawa pulang dua atau tiga batu setiap hari, hingga suatu malam sang ibu bertanya.


"Kau membawa batu kali lagi, Was?"

 "Iya, bu. Apa ibu juga mau menghinaku seperti orang desa ini?"


"Tidak, ibu cuma ingin tahu apa rencanamu dengan batu itu?"


"Saya ingin membangun rumah, kemudian melamar anak Pak Kades untuk dinikahi."


"Apa kau tidak salah?" 


"Tidak."


"Kalau begitu, teruskanlah usahamu. Minimal kamu sudah bermimpi, dan mimpi itulah yang membawamu berhasil memindahkan arti batu dari kali ke sini."


"Tapi, Bu...."


"Tidak usah cemas. Orang lebih sering lupa dengan keadaan sekitarnya daripada kesalahannya."


Esok harinya, Nawas kembali membawa batu itu. Tahun berganti. Presiden pun ganti lagi. Kebijakan tetap saja berubah-ubah. Bentrok menolak kenaikan BBM kembali terdengar memakan korban. Nawas bergeming dari semua itu, ia hanya menimbun batu dan batu. Sampai akhirnya, ketika batu itu sudah sangat banyak, ia ditegur pemilik halamannya.


Namun teguran itu bukan untuk memarahi. Si pemilik halaman ingin membeli batu nawas untuk membangun rumah. Harganya pun sangat tinggi. Pemilik merasa senang dengan usaha nawas yang tidak kenal lelah. Makanya, sebagai penghargaan ia juga ingin merekrut Nawas menjadi pekerjanya. Bukan cuma itu, akhirnya Nawas justru dinikahkan dengan keponakan pemilik lahan.

Komentar

Postingan Populer