Penjaga Jembatan dan Sang Anak
Penjaga Jembatan dan Sang Anak
Pada 1930, John Griffith bekerja sebagai pengendali sebuah jembatan kereta api besar yang melintasi Sungai Mississippi. Setiap hari pada waktu yang dijadwalkan,
John bertugas untuk membuka jembatan agar kapal tongkang dan kapal besar dapat melintasi sungai tanpa menabrak jembatan, kemudian menutupnya sesuai jadwal yang ditentukan agar kereta dapat melintas kembali.
Pada musim panas 1937, John Griffith membawa anaknya yang berusia delapan tahun untuk pertama kalinya menemaninya bekerja. Anak itu bersemangat sekali menyaksikan kereta api di jembatan besar, kapal yang melintas, dan juga pos kontrol dengan segala macam pengungkit tempat ayahnya bekerja.
Ayahnya membawanya ke sebuah dek observasi sehingga ia bisa menonton perahu dan kereta lewat. Pada tengah hari, John membuka jembatan untuk membiarkan beberapa kapal melintas karena tidak ada kereta yang datang untuk sementara. Dia berjalan ke dek observasi tempat mereka berdua makan siang.
Saat itu pukul 13.07, Kereta Api Express Memphis dengan 400 penumpang akan segera melintasi jembatan itu, tetapi karena peringatan dini kedatangan kereta tidak berjalan dengan baik, kedatangan kereta api tidak diketahui. Sebelum kedatangan kereta, sang anak sedang bermain-main di sekitar jembatan. Sang anak melihat ada kereta api dari kejauhan tempatnya bermain. Pada saat itu, posisi jembatan belum diturunkan sehingga ia berlari menuju tempat ayahnya bekerja untuk memberitahu ayahnya bahwa akan ada kereta api yang akan melintasi jembatan. Sang anak pun berlari sambil berteriak-teriak untuk memperingatkan ayahnya. "Ada kereta, ada kereta lewat, Ayah turunkan jembatan ce
pat!"
Tanpa pikir panjang, anak itu segera berlari ke arah panel kontrol yang berada di ruangan mekanisme jembatan bekerja. Dia kemudian membuka pintu ruang palka yang terletak di bawah tanah tersebut dan berusaha mendorong tuas dari atas untuk mengubah jalur rel kereta. John melompat dari dek observasi dan berlari kembali ke menara kontrol. Dia menempatkan tangannya di atas tuas kontrol besi besar dan bersiap menutup jembatan. Namun, sebelum menarik tuas, ia melirik ke bawah jembatan untuk melihat apakah ada kapal di bawahnya.
Dia heran karena sang anak tidak berada di tempat bermainnya dan berusaha mencari keberadaannya. Ketika melihat ke arah ruang palka, dia melihat anaknya terjatuh ketika hendak mendorong tuas pengendali jalur kereta. Meskipun anak itu masih hidup dan sadar, kaki kirinya tersangkut di penggerak roda gigi utama. John tahu bahwa jika ia menarik tuas, tubuh anaknya akan hancur.
Matanya berkaca-kaca dan ia mulai panik. John berada di situasi dilematis antara menyelamatkan anaknya atau nyawa 400 orang di dalam kereta. Jika John berlari ke menara observasi dan berusaha menyelamatkan anaknya, ia tahu bahwa waktunya tidak akan cukup untuk kembali lagi ke dek kontrol dan menarik tuas jembatan. Namun, jika ia menarik tuas jembatan, artinya anaknya akan terjepit oleh roda jembatan dan nyawa anak itu akan melayang.
Waktu John semakin pendek dan kereta semakin terlihat jelas melaju dengan kecepatan tinggi. John tidak memiliki cukup waktu untuk meminta sang masinis tersebut menghentikan keretanya. Pada saat genting tersebut, John menggunakan logikanya untuk mengambil keputusan terbaik. Dengan tangan bergetar dan dada yang bergemuruh, ia memilih untuk menyelamatkan nyawa 400 orang yang berada di dalam kereta.
Dengan air mata bercucuran, akhirnya ia menarik tuas untuk menurunkan jembatan. Kereta dengan ratusan orang yang menumpang di dalamnya selamat. Pada saat yang bersamaan, ia juga mendengarkan teriakan terakhir anaknya yang begitu pilu dan menyayat. Pada hari itu, ia rela "membunuh" anaknya sendiri demi menyelamatkan 400 penumpang lain. Tak ada seorang pun di kereta tersebut yang menyadari atau melihat pengorbanan sang ayah. Kisah yang pasti sulit dihadapi oleh siapa pun yang mengalaminya. Pengorbanan yang luar
biasa dari sang ayah yang mengesampingkan keegoisan dan perasaannya untuk menyelamatkan nyawa orang banyak. Mungkin ini adalah keputusan yang paling berat yang harus dialami oleh siapa pun, antara menggunakan perasaannya atau memenangkan logikanya.
Komentar
Posting Komentar